Tuesday, February 28, 2012

PENGUASAAN TANAH NEGARA / HAK PENGELOLAAN


PENGUASAAN TANAH-TANAH NEGARA
(PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN 1953 TENTANG PENGUASAAN TANAH-TANAH NEGARA)

Stanley Lesmana, S.H.

Tanah Negara  (Vrij Landsdomein) adalah tanah-tanah yang dimiliki dan kuasai penuh oleh Negara, artinya  seluruh tanah yang bebas merupakan milik Negara dari seluruh hak-hak milik seseorang ( baik yang berdasarkan hukum adat maupun hukum barat). Vrij Landsdomein ini masih belum ada pengaturan yang secara khusus dan tegas mengatur penguasaannya. Namun pada zaman Kolonial Belanda ada satu peraturan didalam Staatsblad 1911 No. 1 1 0 yang telah diubah dengan Staasblad 1940 No. 430 mengenai penguasaan barang-barang tidak bergerak oleh Negara. Didalam Staatsblad tersebut diatur bahwa untuk penguasaannya berada pada Departemen yang membiayainya dan memeliharanya. Peraturan Staatsblad 1911 No. 110 ini tidak mengatur mengenai kewajiban dari Departemen untuk memeliharanya dan membiayainya, namun pada zaman itu sudah menjadi pendapat umum bahwa penguasaan terhadap bidang-bidang tanah tersebut menjadi tanggung jawab dan kewajiban dari Departemen yang menguasainya.

Hal mengenai penguasaan Tanah-Tanah Negara (Brij Landsdomein) pada zaman Belanda  dapat terjadi karena dahulu pemerintah Belanda berpendirian bahwa:
a.     Vrij Landsdomein yang dibebaskan oleh Departemen, dianggap dibawah penguasaan Departemen tersebut.
b.    Vrij Landsdomein yang penguasaannya jelas-jelas diserahkan kepada Departemen.

Setelah berakhirnya masa Kolonial Belanda bergantilah masa Jepang menduduki Indonesia. Jepang dengan kepentingan yang berbeda dari Belanda memberikan keleluasaan penuh kepada pemerintah Jepang yang menduduki Indonesia untuk mengatur kepentingannya masing-masing. Akibat pemberian keleluasaan tersebut munculah kekacauan mengenai pengaturan tentang Vrij Landsdomein, yaitu:
     a.     Penggunaan Vrij Landsdomein yang menyimpang;
    b.   Pembelian Tanah yang tidak diketahui atau tidak tercatat oleh Departemen yang membelinya, 
          sehingga tidak lagi diketahui oleh Departemen yang menguasainya;
     c.     Pengalihan Vrij Landsdomein antar departemen yang membuat kekacauan antar departemen.

Pada Akhirnya tahun 1945 Bangsa Indonesia merdeka dan mulailah mengatur kembali kekacauan-kekacauan Vrij Landsdomein. Bangsa Indonesia melihat bahwa pengaturan mengenai Vrij Landsdomein dapat dilakukan oleh 2 cara, yaitu:
1.    Ditujuk langsung oleh Undang-Undang, dimana maksud dan tujuan jelas serta tegas;
2.    Ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah.
Penunjukan melalui Peraturan Pemerintah inilah menurut Bangsa Indonesia harus diperbaharui agar tidak lagi menimbulkan keragu-raguan mengenai Brij Landsdomein. Berdasarkan hal tersebut Bangsa Indonesia mengatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara dengan meletakan pengawasan Vrij Landsdomein dibawah satu tangan, yaitu Menteri Dalam Negeri.

Menteri Dalam Negeri dalam hal ini bertugas untuk mengawasi pelaksanaan penguasaan Tanah Negara ( Brij Landsdomein), dan juga berhak untuk:
a.     Menyerahkan penguasaan tersebut kepada Jawatan (organisasi kementerian yang berdiri sendiri, sebagaimana yang tercantum dalam dalam Peraturan Pemerintah Tahun 1952), dan Daerah Swatantra (daerah yang diberi hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 131 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia)
b.    Mengawasi agar Vrij Landsdomein tetap sebagai peruntukannya.
Penerima penguasaan vrij Landsdomein dalam hal ini jawatan dan Daerah Swatantra dapat memberikan izin kepada pihak lain yang ingin menggunakan tanah tersebut untuk sementara waktu, akan tetapi pihak jawatan atau daerah swatantra harus memiliki kewenangan untuk mencabut kembali setiap waktu dan harus mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri.

Menteri Dalam Negeri berhak mencabut Brij Landsdomein dalam hal terjadi:
a.     Penyerahan penguasaan itu ternyata keliru atau tidak tepat lagi
b.    Luas tanah yang diserahkan penguasaannya itu ternyata sanagt melebihi keperluan
c.     Tanah itu tidak dipelihara atau tidak dipergunakan sebagaimana mestinya.    

Sunday, February 26, 2012

RUMAH SUSUN

APARTMENT / RUMAH SUSUN
(UNDANG-UNDANG Nomor 16 Tahun 1985, tentang RUMAH SUSUN)
Stanley Lesmana, SH



Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu bahwa di Indonesia tidak ada peraturan mengenai apartment, namun yang ada adalah peraturan mengenai Rumah Susun. Peraturan Rumah Susun ini lebih luas dari istilah apartment sebab mencakup juga pengaturan mengenai bangunan bertingkat yang dipisahkan untuk kepentingan komersial. Hal ini dapat terlihat jelas dari definisi Rumah Susun.

Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertical dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian-bersama, benda bersama dengan tanah-bersama.

Maka setiap gedung bertingkat yang senantiasa mengandung sistem pemilikan perseorangan dan hak bersama, yang penggunaannya untuk hunian atau bukan hunian, secara mandiri ataupun terpadu sebagai satu kesatuan system bangunan disebut juga sebagai Rumah Susun (Berdasarkan penjelasan UU Nomor 16 tahun 1985). Penjelasan ini dapat dimengerti karena dalam pengertian Rumah Susun dalam Undang-Undang itu sendiri dikatakan “………..terutama untuk tempat hunian,…..” berarti diutamakan untuk sebuah hunian, namun apabila bukan digunakan untuk hunian juga dapat dikatakan Rumah Susun. Sehingga unsur sebagai hunian bukan merupakan unsur yang esensial.

Melalui pengertian tersebut dapat kita ketahui unsur esensial dari suatu Rumah Susun adalah:
  1.  Bangunan gedung bertingkat dalam suatu lingkungan.
  2.  Terbagi dalam bagian-bagian
  3. Bagian-bagian tersebut dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah 
  4. Dilengkapi bagian bersama, benda bersama dengan tanah bersama.

Satuan Rumah Susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.

Lingkungan adalah sebidang tanah dengan batas-batas yang jelas yang di atasnya dibagun rumah susun termasuk prasarana dan fasilitasnya, yang secara keseluruhan merupakan kesatuan tempat pemukiman.

Bagian Bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun (pondasi, kolom, balok, dinding, lantai, atap, talang air, tangga, lift, selasar, saluran-saluran, pipa-pipa, jaringan-jaringan listrik, gas, dan telekomunikasi serta ruang untuk umum).

Benda Bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama (taman, bangunan pertamanan, bangunan saran sosial, tempat ibadah, tempat bermain, tempat parkir).

Tanah Bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin banguan. Tanah pada dasarnya memiliki fungsi sosial seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Asas Pembangunan Rumah Susun
  • Asas Kesejahteraan umur keadilan dan pemerataan
  •  Asas Keserasian dan keseimbangan dalam perikehidupan

Tujuan Pembangunan Rumah Susun:
  1.  Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya.
  2. Meningkatkan daya guna dan daya hasil gguna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi, dan seimbang.
  3. Memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat.

Pembangunan Rumah Susun dapat dilakukan oleh:
  •  BUMN
  • BUMD
  • Koperasi
  • BUMS
  • Swadaya Masyarakat.

Persayaratan dalam Pembanguan Rumah Susun ada 2 yaitu:
  • Persyaratan 
  • TeknisPrsyaratan Adiminstrasi

Rumah Susun Hanya dapat dibangun di atas hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tnah Negara atau hak pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyelenggaraan pembangunan yang membangun rumah susun di atas tanah yang dikuasai dengan hak pengelolaan, wajib menyelesaikan status hak guna bangunan di atas hak pengelolaan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum menjual satuan rumah susun yang bersangkutan.

Penyelenggaraan pembangunan wajib memisahkan rumah susun atas satuan dan bagian bersama dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memberi kejelasan atas:
  •  Batas satuan yang dapat dipergunakan secara terpisah untuk perseorangan
  •  Batas dan uraian atas bagian bersama dengan benda bersama yang menjadi hak masing-masing satuan
  •  Batas dan uraian tanah bersama dengan besarnya bagian yang menjadi haknya masing-masing satuan.

Pemilikan Rumah Susun:
  1. Satuan Rumah Susun dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.
  2. Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik ini meliputi hak atas Bagian Bersama, benda Bersama, dan tanah bersama, yang semuanya merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
  3. Hak atas bagian bersama, benda bersama, dan hak atas tanah bersama sesuai dengan atas luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama.

Tanda Bukti Hak Milik Satuan Rumah Susun
  1. Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur atas Hak Tanah Bersama menurut ketentuan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahunn 1960
  2. Gambar denah Tingkat rumah susun yang bersangkutan, yang menunjukkan satuan rumah susun yang dimiliki
  3. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang bersangkutan kersmuannya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Pengalihan hak atas satuan rumah susun juga dapat dilakukan melalui pewarisan atau cara pemidahan hak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pemindahan hak ini harus dilakukan dengan Akta PPAT dan didaftarkan pada kantor agrarian.

Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya dapat dijadikan jaminan hutang dengan:
  •  Dibebani hipotik, jika tanah hak milik atau hak guna bangunan
  •  Dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah Negara.

Hipotik atau fidusia dapat juga dibebani berserta rumah susun yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya dilakukan secara bertahap sesuai dengan pelaksaan pembangunan rumah susun tersebut.

Hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 3 dapat dijadikan jaminan hutang dengan:
  •  Dibebani hipotik, jika tanah hak milik atau hak guna bangunan
  •  Dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah Negara.

Pemberian Hipotik ini dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan wajib didaftarkan pada kantor agrarian kabupaten dan kotamadya untuk dicatatkan pada buku tanah dan sertifikat hak yang bersangkutan.

Diterbitkan sertifikat hipotik yang terdiri dari salinan buku tanah hipotik dan salinan akta pejabat pembuat akta tanah.

Tanggal buku tanah hipotik adalah tanggal yang ditetapkan tujuh hari setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya oleh kantor Agraria kabupaten atau Kotamadya yang bersangkutan atau jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, maka buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.

Sertifikat hipotik mempunyai kekuatan eksekutorial dan dapat dilaksanakan sebagai putusan pengadilan.

Bentuk dan isi akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, bentuk dan isi buku tanah hipotik serta hal-hal lain mengenai pendaftaran hipotik dan pembenan sertifikat sebagai tanda bukti, ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan ketentuan peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960.

Pemberian fidusia dilakukan dengan akta pejabat pembuat akta tanah dan wajib didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten atau Kotamadya untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak yang bersangkutan.

Bentuk dan isi akta Pejabat Pembuat akta Tanah dan hal-hal lain mengenai pencatatan fidusia diselenggarakan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

Dalam pemberian hipotik atau fidusia dapat diperjanjikan bahwa pelunasan hutang yang dijamin dengan hipotik atau fidusia itu dapat dilakukan dengan cara angsuran sesuai dengan tahap penjualan satuan rumah susun, yang besarnya sebanding dengan nilai satuan yang terjual.

Dalam hal pelunasan, maka satuan rumah susun yang harganya telah dilunasi tersebut bebas dari hipotik atau fidusia yang membebaninya.

Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hipotik atau fidusia, eksekusi hipotik atau fidusia yang bersangkutan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan cara demikian akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

Pelaksanaan penjualan baru dapat dilakukan setelah lewat 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan, dan/atau media massa cetak setempat, tanpa ada pihak yang menyatakan keberatan.

Satuan rumah susun yang telah dibangun baru dapat dijual untuk dihuni setelah mendapat izin kelayakan untuk dihuni dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Ketentuan mengenai izin kelayakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penghuni rumah susun wajib membentuk perhimpunan penghuni.
Perhimpunan penghuni diberi kedudukan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
Perhimpunan Penghuni berkewajiban untuk mengurus kepentingan bersama para pemilik dan penghuni yang bersangkutan dengan pemilikan dan penghuniannya.
Perhimpunan Penghuni dapat membentuk atau menunjuk badan pengelola yang bertugas untuk menyelenggarakan pengelolaan yang meliputi pengawasan terhadap penggunaan bagian baersama, benda bersama, tanah bersama, dan pemeliharaaan serta perbaikannya.
Semuanya diatur oleh Peraturan Pemerintah.



Note:
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan terbaru pada tahun 2011

Saturday, February 25, 2012

HUKUM PERUSAHAAN


HUKUM PERUSAHAAN
Dasar Hukum Undang-Undang 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

Hukum Perusahaan adalah suatu aturan yang membahas mengenai suatu Perseroan Terbatas. Sebelum kita memahami lebih jauh mengenai hukum perusahaan ini kita harus mengetahui dahulu mengapa Perseroan Terbatas di Indonesia diatur tersendiri. Karena Perseroan Terbatas di Indonesia adalah sebuah subjek hukum.
Subjek Hukum di Indonesia dikenal ada 2 yaitu:
  1. Individu / orang-perseorangan, yang dimaksud dengan individu adalah setiap orang yang melakukan suatu perbuatan hukum.
  2. Badan Hukum, yang dimaksud Badan Hukum adalah suatu badan yang mempunyai pembatas yang jelas mengenai harta pribadi (pendiri) dengan harta badan. Contohnya : Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Yayasan.
Perseroan Terbatas tentunya memilii organ-organ untuk menjalankannya, karena walaupun dia subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum namun perbuatan hukum tersebut harus diwakili oleh orang-perseorangan / organ-organ yang terdapat didaam Perseroan Terbatas tersebut. Organ Perseroan Terbatas tersebut terdiri dari;
Ø       Rapat Umum Pemegang Saham, (selanjutnya disebut RUPS)
Ø       Direksi
Ø       Dewan Komisaris

A. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan  dalam Undang-Undang ini dan / atau anggaran dasar.[1] Jadi dalam hal ini wewenang RUPS ada ada 2, yaitu:[2]
  1. Kekuasaan tertinggi dalam perseroan,
  2. wewenang yang tidak diserahkan pada direksi atau komisaris.
Wewenang RUPS yang bersifat eklusif, atau tidak diserahkan kepada direksi atau komisaris antara lain;[3]
Ø Penetapan perubahan Anggaran Dasar;
Ø Penetapan pengurangan modal;
Ø Pemeriksaan, persetujuan, dan pengesahan laporan tahunan;
Ø Penetapan penggunaan laba;
Ø Pengangkatan dan pemberhentian Direksi dan Komisaris
Ø Penetapan mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan;
Ø Penetapan pembubaran perseroan.

Jenis-Jenis RUPS, antara lain:[4]
  1. RUPS Tahunan, artinya RUPS ini wajib diadakan setiap tahun sekurang-kurangnya  satu (1) kali dalam tiap tahun buku perseroan. Dalam hal ini para pengurus diwajibkan menyampaikan laporan mengeni pelaksanaan dari setiap hak, pemenuhan dari setiap kewajiban serta status kedudukan dari harta kekayaan perseroan secara berkala. Hal ini menjadi penting karena laporan ini digunakan untuk mengevaluasi perusahaan apakah perusahaan sudah berjalan dengan benar atau belum.[5]
  2. RUPS Luar Biasa, artinya hanya diselengarakan secara khusus atas permintaan ireksi, komisaris, maupun pemegang saham yang mewakili sekurang-kurangnya 10% dari jumlah seluruh saham yang telah dikeluarkan dengan sah oleh perseroan.[6]

B. Direksi
Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroaan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.[7]
Direksi bertugas menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, sehingga direksi berwenang mengambil kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/ atau anggaran dasar.[8] Maksud kebijakan yang dipandang tepat adalah kebijakan yang antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis.[9] Selain itu Direksi juga memiliki tugas untuk mewakili perusahaan di dalam maupun di luar pengadilan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 98 UU Perseroan Terbatas, akan tetapi ada saatnya Anggota Direksi tidak berwenang mewakili perseroan, apabila:
Ø       Terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota direksi yang bersangkutan;
Ø       Anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan.
Tanggung-Jawab Direksi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
  1. Tanggung-Jawab Internal, yakni Direksi yangh meliputi tugas dan tanggung jawab Direksi terhadap perseroan dan pemegang saham perseroan, dan.
  2. Tanggung jawab Eksternal, yakni Direksi yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab Direksi kepada pihak ketiga yang berhubungan hukum langsung maupun tidak langsung dengan perseroan.
Jadi Direksi Bertanggung-jawab atas kerugian yang ditimbulkan bagi perusahan apabila direksi tidak dapat membuktikan bahwa;
Ø       Kerugian tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
Ø       Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan
Ø       Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian.
Ø       Telah mengambil tindakkan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian.
Akan tetapi bila direksi telah melakukan tindakan kehati-hatian (agar tidak terjadi kerugian), maka direksi tidak dapat diminta pertanggung-jawabannya dan perusahaan akan menanggung semua kerugian tersebut. Hal ini sesuai dengan doktrin Business Judgment Rule, yaitu direksi suatu perusahaan tidak bertanggung-jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan kepada itikad baik dan hati-hati.

Apabila kerugian yang ditimbulkan oleh direksi tersebut di dalam RUPS tahunan telah di laporkan dan oleh RUPS telah mengakui bahwa, tindakan direksi tersebut merupakan Business Judgment Rule dan perusahaan telah menerima semua kerugian itu, maka apabila di kemudian hari timbul kerugian akibat tindakan direksi yang telah di laporkan sebelumnya perusahaan juga tidak dapat menuntut pertanggung jawaban. Hal ini sesuai dengan doktrin Acquit De Charge atau aquit Et  De Charge, yaitu pembebasan atau pelepasan pertanggung-jawaban kepada direksi dan komisaris dari segala pertanggung-jawaban yang mungkin masih di tangunggung olehnya di kemudian hari atas setiap perbuatan hukum yang dilakukan olehnya pada tahun dimana ia diberikan acquit de charge.[10] Pada prinsipnya doktrin ini hanya memberikan pembebasan atau pelepasan dari perbuatan-perbuatan hukum yang dilaporkan atau yang tercermin dalam laporan tahunan Rapat Umum Pemegang Saham.[11]

C. Dewan Komisaris
Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/ atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada direksi.[12] Jadi tugas utama Dewan Komisaris adalah;[13]
Ø       Melakukan pengawasan atas jalannya perseroan
Ø       Memberikan nasehat kepada direksi dalam menjalankan perseroan.
Kedua hal di atas sejalan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 108 angka 1 dan 2. sehingga komisaris mempunyai kewajiban-kewajiban, antara lain:[14]
Ø       Menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan Terbatas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
Ø       Melaporkan kepada Perseroan Terbatas mengenai kepemilikan sahamnya dan atau keluarganya pada Perseroan terbatas tersebut dan Perseroan terbatas lainnya.
Ø       Kewajiban-kewajiban lainnya yang ditetapkan dalam anggaran dasar , seperti;
o        Memberikan persetujuan atau bantuan kepada direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu;
o        Melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu.
Ketiga kewajiban komisaris tersebut telah tercermin dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 116.

Jenis-jenis Komisaris antara lain:[15]
  1. Komisaris Independen adalah anggota komisaris yang berasal dari luar perusahaan yang dipilih secara transparan dan independent, memiliki integritas dan kompetensi yang memadai, bebas dari pengaruh yang berhubungan dengan kepentingan pribadi atau pihak lain.
  2. Komisaris Utusan, maksudnya komisaris yang ditunjuk berdasarkan keputusan Rapat Dewan komisaris.
 Pengertian-pengertian umum mengenai kata yang akan digunakan dalam makalah ini, yaitu:
Ø  The Ultra Vires Rule adalah doktrin  yang isinya direksi bertindak di luar wewenang yang ditentukan, jika merugikan perseroan menjadi direksi.
Ø     Business Judgment  Rule adalah doktrin yang mengatakan bahwa direksi suatu perusahaan tidak bertanggung-jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan kepada itikad baik dan hati-hati.
Ø   Acquit De Charge atau aquit Et  De Charge adalah pembebasan atau pelepasan pertanggung-jawaban kepada direksi dan komisaris dari segala pertanggung-jawaban yang mungkin masih di tangunggung olehnya di kemudian hari atas setiap perbuatan hukum yang dilakukan olehnya pada tahun dimana ia diberikan acquit de charge.[16] Pada prinsipnya doktrin ini hanya memberikan pembebasan atau pelepasan dari perbuatan-perbuatan hukum yang dilaporkan atau yang tercermin dalam laporan tahunan Rapat Umum Pemegang Saham.[17]



[1] UU 40 Tahun 2007 tentang PT, pasal 1 angka 4
[2] Hardjian Rusli, Perseroan Terbatas dan Aspek Hukumnya,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 114.
[3] Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, PT. RajaGrafindo Perrsada, Jakarta, 1999, hlm. 78.
[4] Ibid.., hlm 84
[5] Ibid., hlm 84
[6] Ibid., hlm 84
[7] Pasal 1 angka 5
[8] Pasal 92 angka 1 dan 2
[9] Penjelasan Pasal 92 angka 2
[10] Bandingkan Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 116.
[11] Bandingkan Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 116.
[12] Pasal 1 angka 6
[13] Supra note 2, hlm. 126.
[14] Ibid., hlm. 128.
[15] Sentosa seimbiring, Handout Perkuliahan Hukum Perusahan, hlm. 15-16, Poin  43 dan 45.
[16] Bandingkan Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 116.
[17] Bandingkan Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 116.

Friday, February 24, 2012

JENIS PERJANJIAN DI INDONESIA BERDASARKAN KUHPerdata

JENIS-JENIS PERJANJIAN DAN DASAR HUKUMNYA  DI INDONESIA
Secara umum Perjanjian di Indonesia  dapat dibedakan menjadi 2 bentuk, yaitu:
1.    Perjanjian Bernama, yaitu perjanjian yang memang sudah ada di dalam KUHPrdt
2.    Perjanjian Tidak bernama, yaitu perjanjian yang belum ada dalam KUHPrdt
Berdasarkan sifatnya perjanjian dibedakan, yaitu :
1. Perjanjian Konsensuil Adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.
2. Perjanjian Riil Adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.
3. Perjanjian Formil Adalah perjanjian di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat beberapa jenis perikatan, antara lain:
1.       Perikatan untuk Memberikan Sesuatu (1235-1238)
1235. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termasuk kewajiban untuk menyerahkan barang yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Luas tidaknya kewajiban yang terakhir ini tergantung pada persetujuan tertentu; akibatnya akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan.
1236. Debitur wajib memberi ganti biaya, kerugian dan bunga kepada kreditur bila ia menjadikan dirinya tidak mampu untuk menyerahkan barang itu atau tidak merawatnya dengan sebaik-baiknya untuk menyeIamatkannya.
1237. Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya.
1238. Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
2.       Perikatan Untuk Berbuat Sesuatu atau Untuk Tidak Berbuat Sesuatu (1239-1242)
1239. Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.
1240. Walaupun demikian, kreditur berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang dilakukan secara bertentangan dengan perikatan dan ia dapat minta kuasa dari Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat itu atas tanggungan debitur; hal ini tidak mengurangi hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ada alasan untuk itu.
1241. Bila perikatan itu tidak dilaksanakan, kreditur juga boleh dikuasakan untuk melaksanakan sendiri perikatan itu atas biaya debitur.
1242. Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak mana pun yang berbuat bertentangan dengan perikatan itu, karena pelanggaran itu saja, diwajibkan untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga.
3.       Penggantian Biaya, Kerugian dan Bunga Karena Tidak Dipenuhinya Suatu Perikatan (1243-1252)
1243. Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
1244. Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikat buruk kepadanya.
1245. Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
1246. Biaya, ganti rugi dan bunga, yang bo!eh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya, tanpa mengurangi pengecualian dan perubahan yang disebut di bawah ini.
1247. Debitur hanya diwajibkan mengganti biaya, kerugian dan bunga, yang diharap atau sedianya dapat diduga pada waktu perikatan diadakan, kecuali jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya yang dilakukannya.
1248. Bahkan jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya debitur, maka penggantian biaya, kerugian dan bunga, yang menyebabkan kreditur menderita kerugian dan kehilangan keuntungan, hanya mencakup hal-hal yang menjadi akibat langsung dari tidak dilaksanakannya perikatan itu.
1249. Jika dalam suatu perikatan ditentukan bahwa pihak yang lalai memenuhinya harus membayar suatu jumlah uang tertentu sebagai ganti kerugian, maka kepada pihak lain-lain tak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih ataupun yang kurang dari jumlah itu.
1250. Dalam perikatan yang hanya berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena keterlambatan pelaksanaannya, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang tanpa mengurangi berlakunya peraturan undang-undang khusus. Penggantian biaya, kerugian dan bunga itu wajib dibayar, tanpa perlu dibuktikan adanya suatu kerugian o!eh kreditur. Penggantian biaya,. kerugian dan bunga itu baru wajib dibayar sejak diminta di muka Pengadilan, kecuali bila undang-undang menetapkan bahwa hal itu berlaku demi hukum.
1251. Bunga uang pokok yang dapat ditagih dapat pula menghasilkan bunga, baik karena suatu permohonan di muka Pengadilan, maupun karena suatu persetujuan yang khusus, asal saja permintaan atau persetujuan tersebut adalah mengenai bunga yang harus dibayar untuk satu tahun.
1252. Walaupun demikian, penghasilan yang dapat ditagih, seperti uang upah tanah dan uang sewa lain, bunga abadi atau bunga sepanjang hidup seseorang, menghasilkan bunga mulai hari dilakukan penuntutan atau dibuat persetujuan. Peraturan yang sama berlaku terhadap pengembalian hasil-hasil sewa dan bunga yang dibayar oleh seorang pihak ketiga kepada kreditur untuk pembebasan debitur.

4.       Perikatan Bersyarat (1253-1267)
1253. Suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu.
1254. Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya tak berlaku.
1255. Syarat yang bertujuan tidak melakukan sesuatu yang tak mungkin dilakukan, tidak membuat perikatan yang digantungkan padanya tak berlaku.
1256. Semua perikatan adalah batal, jika pelaksanaannya semata-mata tergantung pada kemauan orang yang terikat. Tetapi jika perikatan tergantung pada suatu perbuatan yang pelaksanaannya berada dalam kekuasaan orang tersebut, dan perbuatan itu telah terjadi maka perikatan itu adalah sah.
1257. Semua syarat harus dipenuhi dengan cara yang dikehendaki dan dimaksudkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
1258. Jika suatu perikatan tergantung pada suatu syarat bahwa suatu peristiwa akan terjadi dalam waktu tertentu, maka syarat tersebut dianggap tidak ada, bila waktu tersebut telah lampau sedangkan peristiwa tersebut setiap waktu dapat dipenuhi, dan syarat itu tidak dianggap tidak ada sebelum ada kepastian bahwa peristiwa itu tidak akan terjadi.
1259. Jika suatu perikatan tergantung pada syarat bahwa suatu peristiwa tidak akan terjadi dalam waktu tertentu, maka syarat tersebut telah terpenuhi bila waktu tersebut lampau tanpa terjadinya peristiwa itu. Begitu pula bila syarat itu telah terpenuhi, jika sebelum waktu tersebut lewat telah ada kepastian bahwa peristiwa itu tidak akan terjadinya, tetapi tidak ditetapkan suatu waktu, maka syarat itu tidak terpenuhi sebelum ada kepastian bahwa peristiwa tersebut tidak akan terjadi.
1260. Syarat yang bersangkutan dianggap telah terpenuhi, jika debitur yang terikat oleh syarat itu menghalangi terpenuhinya syarat itu.
1261. Bila syarat telah terpenuhi, maka syarat itu berlaku surut hingga saat terjadinya perikatan. Jika kreditur meninggal sebelum terpenuhinya syarat, maka hak-haknya berpindah kepada para ahli warisnya.
1262. Kreditur sebelum syarat terpenuhi boleh melakukan segala usaha yang perlu untuk menjaga supaya haknya jangan sampai hilang.
1263. Suatu perikatan dengan syarat tunda adalah suatu perikatan yang tergantung pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan belum tentu akan terjadi, atau yang tergantung pada suatu hal yang sudah terjadi tetapi hal itu tidak diketahui oleh kedua belah pihak. Dalam hal pertama, perikatan tidak dapat dilaksanakan sebelum peristiwanya terjadi; dalam hal kedua, perikatan mulai berlaku sejak terjadi.
1264. Jika suatu perikatan tergantung pada suatu syarat yang ditunda, maka barang yang menjadi pokok perikatan tetap menjadi tanggungan debitur, yang hanya wajib menyerahkan barang itu bila syarat dipenuhi. Jika barang tersebut musnah seluruhnya di luar kesalahan debitur, maka baik bagi pihak yang satu maupun pihak yang lain, tidak ada lagi perikatan. Jika barang tersebut merosot harganya di luar kesalahan debitur, maka kreditur dapat memilih: memutuskan perikatan atau menuntut penyerahan barang itu dalam keadaan seperti apa adanya, tanpa pengurangan harga yang telah dijanjikan. Jika harga barang itu merosot karena kesalahan debitur, maka kreditur berhak memutuskan perikatan atau menuntut penyerahan barang itu dalam keadaan seperti adanya dengan penggantian kerugian.
1265. Suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan.
Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.
1266. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.
1267. Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.

5.       Perikatan-perikatan dengan Waktu yang Ditetapkan (1268-1271)
1268. Waktu yang ditetapkan tidaklah menunda perikatan, melainkan hanya pelaksanaannya.
1269. Apa yang harus dibayar pada waktu yang ditentukan itu, tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba; tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu, tak dapat diminta kembali.
1270. Waktu yang ditetapkan selalu ditentukan untuk kepentingan debitur, kecuali jika dari sifat perikatan sendiri atau keadaan ternyata bahwa waktu itu ditentukan untuk kepentingan kreditur.
1271. Debitur tidak dapat lagi menarik manfaat dan suatu ketetapan waktu, jika ia telah dinyatakan pailit, atau jika jaminan yang diberikannya kepada kreditur telah merosot karena kesalahannya sendiri.

6.       Perikatan dengan Pilihan atau Perikatan yang Boleh Dipilih oleh Salah Satu Pihak (1272-1277)
1272. Dalam perikatan dengan pilihan, debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebut dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lain.
1273. Hak memilih ada pada debitur, jika hal ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditur.
1274. Suatu perikatan adalah murni dan sederhana, walaupun perikatan itu disusun secara boleh pilih atau secara mana suka, jika salah satu dari kedua barang yang dijanjikan tidak dapat menjadi pokok perikatan.
1275. Suatu perikatan dengan pilihan adalah murni dan sederhana, jika salah satu dari barang yang dijanjikan hilang, atau karena kesalahan debitur tidak dapat diserahkan lagi. Harga dari barang itu tidak dapat ditawarkan sebagai ganti salah satu barang, dia harus membayar harga barang yang paling akhir hilang.
1276. Jika dalam hal-hal yang disebutkan dalam pasal lalu pilihan diserahkan kepada kreditur dan hanya salah satu barang saja yang hilang, maka jika hal itu terjadi di luar kesalahan debitur, kreditur harus memperoleh barang yang masih ada; jika hilangnya salah satu barang tadi terjadi karena salahnya debitur, maka kreditur dapat menuntut penyerahan barang yang masih ada atau harga barang yang telah hilang. Jika kedua barang lenyap, maka bila hilangnya barang itu, salah satu saja pun, terjadi karena kesalahan debitur, kreditur boleh menuntut pembayaran harga salah satu barang itu rnenurut pilihannya.
1277. Prinsip yang sama juga berlaku, baik jika ada lebih dari dua barang termaktub dalam perikatan maupun jika perikatan itu adalah mengenai berbuat sesuatu ataupun tidak berbuat sesuatu.
7.       PerikatanTanggung Renteng atau Perikatan Tanggung-Menanggung (1278-1295)
1278. Suatu perikatan tanggung-menanggung atau perikatan tanggung renteng terjadi antara beberapa kreditur, jika dalam bukti persetujuan secara tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang, sedangkan pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang di antara mereka, membebaskan debitur, meskipun perikatan itu menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi antara para kreditur tadi.
1279. Selama belum digugat oleh salah satu kreditur, debitur bebas memilih, apakah ia akan membayar utang kepada yang satu atau kepada yang lain di antara para kreditur. Meskipun demikian, pembebasan yang diberikan oleh salah seorang kreditur dalam suatu perikatan tanggung menanggung, tak dapat membebaskan debitur lebih dari bagian kreditur tersebut.
1280. Di pihak para debitur terjadi suatu perikatan tanggung-menanggung, manakala mereka semua wajib melaksanakan satu hal yang sama, sedemikian rupa sehingga salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pelunasan oleh salah satu dapat membebaskan debitur lainnya terhadap kreditur.
1281. Suatu perikatan dapat bersifat tanggung-menanggung, meskipun salah satu debitur itu diwajibkan memenuhi hal yang sama dengan cara berlainan dengan teman-temannya sepenanggungan, misalnya yang satu terikat dengan bersyarat, sedangkan yang lain terikat secara murni dan sederhana, atau terhadap yang satu telah diberikan ketetapan waktu dengan persetujuan, sedang terhadap yang lainnya tidak diberikan.
1282. Tiada perikatan yang dianggap sebagai perikatan tanggung-menanggung kecuali jika dinyatakan dengan tegas. Ketentuan ini hanya dikecualikan dalam hal mutu perikatan dianggap sebagai perikatan tanggung-menanggung karena kekuatan penetapan undang-undang.
1283. Kreditur dalam suatu perikatan tanggung-menanggung dapat menagih piutangnya dari salah satu debitur yang dipilihnya, dan debitur ini tidak dapat meminta agar utangnya dipecah.
1284. Penuntutan yang ditujukan kepada salah seorang debitur tidak menjadi halangan bagi kreditur itu untuk melaksanakan haknya terhadap debitur lainnya.
1285. Jika barang yang harus diberikan musnah karena kesalahan seorang debitur tanggung renteng atau lebih, atau setelah debitur itu dinyatakan lalai, maka para kreditur lainnya tidak bebas dari kewajiban untuk membayar harga barang itu, tetapi mereka tidak wajib untuk membayar penggantian biaya, kerugian dan bunga. Kreditur hanya dapat menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, baik dari debitur yang menyebabkan lenyapnya barang itu maupun dari mereka yang lalai memenuhi perikatan.
1286. Tuntutan pembayaran bunga yang diajukan terhadap salah satu di antara para debitur yang menyebabkan lenyapnya barang itu, maupun dari mereka yang lalai memenuhi perikatan.
1287. Seorang debitur dalam suatu perikatan tanggung-menanggung yang dituntut oleh kreditur, dapat memajukan semua bantahan yang timbul dari sifat perikatan dan yang mengenai dirinya sendiri, pula semua bantahan yang mengenai diri semua debitur lain. Ia tidak dapat memakai bantahan yang hanya mengenai beberapa debitur saja.
1288. Jika salah satu debitur menjadi satu-satunya ahli waris kreditur, atau jika kreditur merupakan satu-satunya ahli waris salah satu debitur, maka percampuran utang ini tidak mengakibatkan tidak berlakunya perikatan tanggung-menanggung kecuali untuk bagian dari debitur atau kreditur yang bersangkutan.
1289. Kreditur yang telah menyetujui pembagian piutangnya terhadap salah satu debitur, tetap memiliki piutang terhadap para debitur yang lain, tetapi dikurangi bagian debitur yang telah dibebaskan dari perikatan tanggung-menanggung.
1290. Kreditur yang menerima bagian salah satu debitur tanpa melepaskan haknya berdasarkan utang tanggung renteng sendiri atau hak-haknya pada umumnya, tidak menghapuskan haknya secara tanggung renteng, melainkan hanya terhadap debitur tadi.
Kreditur tidak dianggap membebaskan debitur dari perikatan tanggung-menanggung, jika dia rnenerima suatu jumlah sebesar bagian debitur itu dalam seluruh utang, sedangkan surat bukti pembayaran tidak secara tegas menyatakan bahwa apa yang diterimanya adalah untuk bagian orang tersebut. Hal yang sama berlaku terhadap tuntutan yang ditujukan kepada salah satu debitur, selama orang ini belum membenarkan tuntutan tersebut, atau selama perkara belum diputus oleh Hakim.
1291. Kreditur yang menerima secara tersendiri dan tanpa syarat bagian dari salah satu debitur dalam pembayaran bunga tunggakan dari suatu utang, hanya kehilangan haknya sendiri terhadap bunga yang telah harus dibayar dan tidak terhadap bunga yang belum tiba waktunya untuk ditagih atau utang pokok, kecuali bila pembayaran tersendiri itu telah terjadi selama sepuluh tahun berturut-turut.
1292. Suatu perkiraan, meskipun menjadi tanggung jawab kreditur sendiri, menurut hukum dapat dihadapi para debitur secara terbagi-bagi, masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.
1293. Seorang debitur yang telah melunasi utangnya dalam suatu perikatan tanggung-menanggung, tidak dapat menuntut kembali dari para debitur Iainnya lebih daripada bagian mereka masing-masing. Jika salah satu di antara mereka tidak mampu untuk membayar, maka kerugian yang disebabkan oleh ketidakmampuan itu harus dipikul bersama-sama oleh para debitur Iainnya dan debitur yang telah melunasi utangnya, menurut besarnya bagian masing-masing.
1294. Jika kreditur telah membebaskan salah satu debitur dari perikatan tanggung-menanggung, dan seorang atau lebih debitur lainnya menjadi tak mampu, maka bagian dari yang tak mampu itu harus dipikul bersama-sama oleh debitur lainnya, juga oleh mereka yang telah dibebaskan dari perikatan tanggung-menanggung.
1295. Jika barang yang untuknya orang-orang mengikatkan diri secara tanggung renteng itu hanya menyangkut salah satu di antara mereka, maka mereka masing-masing terikat seluruhnya kepada kreditur, tetapi di antara mereka sendiri mereka dianggap sebagai orang penjamin bagi orang yang bersangkutan dengan barang itu, dan karena itu harus diberi ganti rugi.
8.       Perikatan-perikatan yang Dapat Dibagi-bagi dan Perikatan-perikatan yang Tidak Dapat Dibagi-bagi (1296-1303)
1296. Suatu perikatan dapat dibagi-bagi atau tak dapat dibagi-bagi sekedar pokok perikatan tersebut adalah suatu barang yang penyerahannya atau suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tak dapat dibagi-bagi, baik secara nyata maupun tak nyata.
1297. Suatu perikatan tak dapat dibagi-bagi, meskipun barang atau perbuatan yang menjadi pokok perikatan itu, karena sifatnya, dapat dibagi-bagi jika barang atau perbuatan itu, menurut maksudnya, tidak boleh diserahkan atau dilaksanakan sebagian demi sebagian saja.
1298. Bahwa suatu perikatan merupakan perikatan tanggung-menanggung, itu tidak berarti bahwa perikatan itu adalah suatu perikatan yang tak dapat dibagi-bagi.
1299. Suatu perikatan yang dapat dibagi-bagi, harus dilaksanakan antara debitur dan kreditur, seolah-olah perikatan itu tak dapat dibagi-bagi; hal dapatnya dibagi-bagi suatu perikatan, itu hanya dapat diterapkan terhadap ahli waris yang tak dapat menagih piutangnya atau tidak wajib membayar utangnya selain untuk bagian masing-masing sebagai ahli waris atau orang yang harus mewakili kreditur atau debitur.
1300. Asas yang ditentukan dalam pasal yang lalu, dikecualikan terhadap:
1. jika utang itu berkenaan dengan suatu hipotek;
2. jika utang itu terdiri atas suatu barang tertentu;
3. jika utang itu mengenai berbagai utang yang dapat dipilih, terserah kepada kreditur, sedang salah satu dari barang-barang itu tak dapat dibagi;
4. jika menurut persetujuan hanya salah satu ahli waris saja yang diwajibkan melaksanakan perikatan itu;
5. jika ternyata dengan jelas, baik karena sifat perikatan, maupun karena sifat barang yang menjadi pokok perikatan, atau karena maksud yang terkandung persetujuan itu, bahwa maksud kedua belah pihak adalah bahwa utangnya tidak dapat diangsur. Dalam ketiga hal yang pertama, ahli waris yang menguasai barang yang harus diserahkan atau barang yang menjadi tanggungan hipotek, dapat dituntut membayar seluruh utangnya, pembayaran mana dapat dilakukan atas barang yang harus diserahkan itu atau atas barang yang dijadikan tanggungan hipotek, tanpa mengurangi haknya untuk menuntut penggantian biaya kepada ahli waris lainnya. Ahli waris yang dibebani dengan utang dalam hal yang keempat, dan tiap ahli waris dalam hal yang kelima, dapat pula dituntut untuk seluruh utang, tanpa mengurangi hak mereka untuk minta ganti rugi dari ahli waris yang lain.
1301. Tiap orang yang bersama-sama wajib memikul suatu utang yang dapat dibagi, bertanggung jawab untuk seluruhnya, meskipun perikatan tidak dibuat secara tanggung-menanggung.
1302. Hal yang sama juga berlaku bagi para ahli waris yang diwajibkan memenuhi perikatan seperti itu.
1303. Tiap ahli waris kreditur dapat menuntut pelaksanaan suatu perikatan yang tak dapat dibagi-bagi secara keseluruhan. Tiada seorang pun di antara mereka diperbolehkan sendirian memberi pembebasan dari seluruh utang maupun menerima harganya sebagai ganti barang. Jika hanya salah satu ahli waris memberi pembebasan dari utang yang bersangkutan, atau menerima harga barang yang bersangkutan, maka para ahli waris lainnya tidak dapat menuntut barang tak dapat dibagi-bagi itu, kecuali dengan memperhitungkan bagian dari ahli waris yang telah memberikan pembebasan dari utang atau yang telah menerima harga barang itu.
9.       Perikatan dengan Perjanjian Hukuman (1304-1312)
1304. Perjanjian hukuman adalah suatu perjanjian yang menempatkan seseorang sebagai jaminan pelaksanaan suatu perikatan yang mewajibkannya melakukan sesuatu, jika ia tidak melaksanakan hal itu.
1305. Batalnya perikatan pokok mengakibatkan batalnya perjanjian hukuman. Tidak berlakunya perjanjian hukuman, sama sekali tidak mengakibatkan batalnya perjanjian/ perikatan pokok.
1306. Kreditur dapat juga menuntut pemenuhan perikatan pokok sebagai pengganti pelaksanaan hukuman terhadap kreditur.
1307. Penetapan hukuman dimaksudkan sebagai ganti penggantian biaya, kerugian dan bunga, yang diderita kreditur karena tidak dipenuhi perikatan pokok. Ia tidak dapat menuntut utang pokok dan hukumannya bersama-sama, kecuali jika hukuman itu ditetapkan hanya untuk terlambatnya pemenuhan.
1308. Entah perikatan pokok itu memuat ketentuan waktu untuk pelaksanaannya entah tidak, hukuman tidak dikenakan, kecuali jika orang yang terikat untuk memberikan sesuatu atau untuk mengerjakan sesuatu itu tidak melaksanakan hal itu.
1309. Hukuman dapat diubah oleh Hakim, jika sebagian perikatan pokok telah dilaksanakan.
1310. Jika perikatan pokok yang memuat penetapan hukuman adalah mengenai suatu barang yang tak dapat dibagi-bagi, maka hukuman harus dibayar kalau terjadi pelanggaran oleh salah satu ahli waris debitur; dan hukuman ini dapat dituntut, baik untuk seluruhnya dari siapa yang melakukan pelanggaran terhadap perikatan maupun dari masing-masing ahli waris untuk bagiannya, tetapi tanpa mengurangi hak mereka untuk menuntut kembali siapa yang menyebabkan hukuman harus dibayar, segala sesuatu tidak mengurangi hak-hak kreditur hipotek.
1311. Jika perikatan pokok dengan penetapan hukuman itu adalah mengenai suatu barang yang dapat dibagi-bagi, maka hukuman hanya harus dibayar oleh ahli waris debitur yang melanggar perikatan, dan hanya untuk jumlah yang tidak melebihi bagiannya dalam perikatan pokok, tanpa ada tuntutan terhadap mereka yang telah memenuhi perikatan.
Peraturan ini dikecualikan, jika perjanjian hukuman ditambah dengan maksud supaya pemenuhan tidak terjadi untuk sebagian, dan salah satu ahli waris telah menghalangi pelaksanaan perikatan untuk seluruh dan dari para ahli waris yang lain hanya untuk bagian mereka, tanpa mengurangi hak mereka untuk menuntut ahli waris yang melanggar perikatan.
1312. Jika suatu perikatan pokok yang dapat dibagi-bagi dan memakai penetapan hukuman yang tak dapat dibagi-bagi hanya dipenuhi untuk sebagian, maka hukuman terhadap ahli waris debitur diganti dengan pembayaran penggantian biaya, kerugian dan bunga.