Sunday, February 19, 2012

SAHNYA PERJANJIAN


DASAR HUKUM SAHNYA SUATU PERJANJIAN DI INDONESIA.

Perjanjian didalam Hukum Indonesia berada pada ranah atau wilayah hukum privat, yang artinya perjanjian hanya dilakukan antara individu dengan individu. Syarat sahnya suatu perjanjian di Indonesia  diatur didalam Pasal 1320Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
  3. Suatu hal tertentu.
  4. Suatu sebab yang halal.
Kedua syarat yang pertama dinamakan, syarat subjektif (akibat hukum karena melanggar syarat ini perjanjian dapat dibatalkan), Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan syarat objektif (akibat hukum melanggar perjanjian ini perjanjian tersebut menjadi Batal Demi Hukum).
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Kata sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) anatara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan para pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptie). Berdasarkan kata sepakat, maka dalam suatu perjanjian tersebut tidak boleh , terdapat unsur-unsur ;[1]Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Inermasa, Jakarta, 1989,  hlm. 135[3]
  1. Paksaan (dwang) terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada ancaman.
  2. Kekhilafan (dwaling) dapat terjadi, mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
  3. Penipuan (bedrog) terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.”
Pasal  1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“ tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalahah;
    1. orang-orang belum dewasa,
    2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan,
    3. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu.”
Orang dewasa adalah orang yang sudah berumur 21 tahun atau sebelum 21 tahun akan tetapi telah menikah.

3. Suatu hal tertentu.
Suatu perjanjian tentunya mempunyai objek (bepaald onderwerp); dimana objek tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dapat digolongankan sebagai objek perjanjian adalah:
Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian.”
  • Objek perjanjian
Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
     “ suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
                Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.”

                Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
                “barang-barang yang baru akan ada diketahui kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
                Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, atau pun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekali pun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan Pasal 169, 176, dan 178.”

Pasal 169 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“Hibah yang demikian, ada yang terdiri atas harta benda yang telah tersedia dan dengan jelas diterangkan pula dalam akta hibanya, dan ada yang terdiri atas seluruh atau sebagian warisan si yang memberikannya.”

Pasal 176 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“Baik dengan perjanjian perkawinan, maupun dengan akta notaries tersendiri, yang dibuat sebelum dan berhubung dengan perkawinan itu, pihak-pihak ketiga diperbolehkan memberi setiap hibah yang demikian, sepantas pertimbangan mereka kepada calon suami-istri atau salah seorang dari mereka, dengan tidak mengurangi kemungkinan akan dikuranginya hibah tadi, sekadar perbuatan itu kiranya akan merugikan mereka yang berhak atas suatu bagian mutlak.”

Pasal 178 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“Tiap-tiap hibah yang terdiri atas seluruh atau sebagian warisan si yang memberikannya, betapapun dilakukan hanya untuk kebahagian suami dan istri saja, atau salah seorang dari mereka, selamanya dianggap berlangsung untuk kebahagian anak dan keturunan mereka selanjutnya jika si pemberi hibah kiranya hidup lebih lama daripada seorang yang sedianya harus menerimanya, dan jika dalam akta tiada ketentuan lain.
Hibah yang sedemikian sementara itu akan menjadi gugur, apabila si pemberi hibah hidup lebih lama juga daripada anak-anak dan keturunan yang terakhir ini selanjutnya.”

4. Suatu sebab yang halal.
  • perjanjian tanpa kausa.
Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
  • Sebab yang halal
 Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah.”
  • Sebab terlarang
Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
                “suatu sebab adalah terlarang, atau apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan abik atau ketertiban umum.”

Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
“ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” 




1 comment: